/

Lembar XIII: Takdir Pulau Terpulaukan

Penulis Oleh: Fauzi As

Gulita Dalam Lingkar Cahaya

Tokoh dan Aktivis kepulauan Sumenep terus memperjuangkan hak-hak mereka. Suara rintihan dan keadilan tertinggal di Dermaga. Janji politik tenggelam, teramuk gelombang di dasar samudera. Bismillah Melayani seolah berlaku dalam lingkar ketiak Bupati.

Gelap Pulaunya Pulau, Terang Migas di Sebrang

Tiga puluh tahun lalu, semasa saya masih sekolah SD, ada tradisi tahunan keluarga yaitu bersilaturahmi ke rumah kerabat di Jawa. Orang Jawa menyebut saya, Fauzi anak Pulau Madura. Dalam pikiran saya memang “Madura Bukan Jawa”.

Waktu itu, usia saya sembilan tahun. Namun sudah bisa merasakan ketimpangan Jawa Madura. Saya menaiki bus dari Sumenep menuju Kamal, tempat kapal-kapal menyeberangkan penumpangnya.

Di sepanjang jalan Pulau Jawa penuh lampu bercahaya terang. Saya pun berharap kapan cahaya itu bisa hadir di kampung halaman.

Mimpi anak SD saat mau mengaji harus membawa patungan minyak tanah, jahatnya jalan berlumpur menjadi penghalang ilmu pengetahuan.

Setengah perjalanan menikmati cahaya, akhirnya saya tiba di Ajung, sebuah desa di Kecamatan Kalisat, Kabupaten Jember.

Perjalanan Melelahkan, Sepuluh Jam di Atas Bus Menikmati Cita Membuang Perih Kenangan

Sore, saya pun pergi menuju pasar Genteng dengan jalan mulus, semulus kulit Banteng. Begitulah nasib anak Pulau tiga puluh tahun yang lalu, gelap terang Pulau dan Kota, lumpur jalanku masih terasa.

Dengan membawa rasa tiga puluh tahun lalu, saya pun harus bersuara jika dulu saya merasa “Madura Bukan Jawa”. Jangan sampai rasa itu tertular dengan rasa bernasib sama.

Kangean Bukan Sumenep…?
Sapeken Bukan Sumenep..?
Sepudi dan Ra’as Bukan Sumenep..?
Dst…

Saya Memiliki Rasa Bersama Barisan Pulau yang Ter-pulaukan

Pulau yang juga berkontribusi membangun pusat-pusat kekuasaan, terpinggirkan jadi banteng-banteng perahan.

Kebutuhan yang Fundamental, Infrastruktur, Kesehatan dan Pendidikan hanya menjadi mimpi dan harapan.

Bismillah Melayani, barter dengan Mencintai Tanpa Dicintai, ibu-ibu melahirkan bayi-bayi mereka diatas perahu, Bupati sibuk ciptakan lagu.

Contoh kecil saja, dari Pulau ter-pulaukan. Pada 2021 lalu, salah satu lembaga pendidikan di kepulauan mendapat bantuan Pengadaan Alat Praktik dan Peraga Siswa. Bantuan ini saya istilahkan dengan Program “Salah Baca”, entah yang salah baca siapa.

Bantuan LCD Proyektor dengan Merek  Panasonic “Salah Baca” menjadi Viewsonic. Kata teman saya yang bergelut dalam bisnis IT, Harga Proyektor dengan merek itu selisihnya jauh berbeda, sembari menunjukkan berapa selisih angka.

“Ini tidak boleh, sebab merek yang ditetapkan pada DPA realisasinya berbeda, saya curiga 100% ini merugikan negara,” ujar teman yang sesekali menghisap rokoknya.

Saya pun hanya menjawab, itu kebijakan “Salah Baca”, bisa saja diakibatkan oleh pandangan mata yang mulai rabun, teman yang menyimak lalu tertawa.

Ia meneruskan membaca berkas yang dipegangnya kemudian dia melanjutkan komentarnya, “ini pengadaan laptopnya juga beda merek, tentu harganyapun beda,” ungkapnya.

Kemudian saya mengambil berkasnya untuk membaca ulang dengan seksama. Dan ternyata benar saja.

LCD Proyektor
Spesifikasi : Panasonic PT-LB303 – (C) Rp8.640.000.

Notebook
Spesifikasi : Lenovo, V130. Intel Core i3-
7020U, Layar 14″ HD (1366 x 768), 1 TB
HDD, 4GB DDR4, AMD Radeon 530 2GB,
Microsoft Windows 10 Home – (C) Rp8.454.000.

Linovo ganti Dell, Panasonic ke Viewsonic. Tiba-tiba pikiran dan kalkulator korup saya pun muncul. Seandainya satu lembaga dengan bantuan 25 unit laptop dan setiap unitnya selisih harga 2 juta, sudah 50 juta juga. Kalau dijumlahkan tujuh lembaga pendidikan, belum harga LCD Proyektonya.

Ya, waktu itu dalam pikiran saya yang kotor sebagai koruptor. Namun saya pun mencoba menepisnya, sebab itu tidak boleh, itu dilarang, nanti masuk neraka.

Dan faktanya Kebijakan “Salah Baca” itu terjadi saat PLT Kadisdik, berdasarkan Surat Perintah Nomor : 821.4/880/435.203.3/2020 Mohamad Iksan, resmi ditunjuk sebagai PLT Kepala Dinas Pendidikan, sejak 28 Desember 2020.

Ya.. beliau bapak Iksan, PLT yang dulu sempat dipersoalkan oleh LBH FORpKOT karena SK-nya dianggap kadaluarsa.

Memang sejak awal Herman Wahyudi, S.H. (LBH FORpKOT) menilai jika SK Plt Kepala Dinas Pendidikan Sumenep, tidak sesuai dengan pedoman Surat Edaran Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 2/SE/VII/2019.

Saya pun membuka kembali data-data lama saat Iksan memimpin Disdik pada tahun itu, lalu saya menemukan data yang sangat menggelikan. Seorang PLT Kadisdik membuat kebijakan melampaui tugas dan kewenangannya.

Contoh kebijakan “Salah Baca” yang kedua ini, ketika ia mengeluarkan Ijin Operasional Penyelenggaraan sekolah swasta dengan Nomor : 420/100/435.101.4/2021.

Piagam itu, ia tandatangani pada tanggal 26 Januari 2021. Sementara data Piagam yang kedua, dikeluarkan pada 31 Mei 2021, dengan Nomor :420/131/435.101.4/2021.

Jika nomor dalam Piagam yang ditulis tangan pada angka /100/ dan /131 itu kita jumlahkan sudah ada berapa Piagam yang ia buat, dengan melanggar dan tanpa kewenangan. Mudah-mudahan pada waktu dia hanya “Salah Baca”, dia tidak sedang berbisnis.

Sebab penerbitan perpanjangan izin operasional sekolah swasta, telah menunjukkan bahwa dia sebagai PLT tidak memahami tupoksi yang sudah diatur dengan Peraturan Bupati (Perbup) Sumenep Nomor 33 Tahun 2021, yang merupakan perubahan dari Perbup Sumenep Nomor 42 Tahun 2018.

Lalu apa kira-kira akibat hukum dari ijin operasional yang diterbitkan? Bagaimana pertanggungjawaban pengelolaan anggarannya..?

Apa saja kebijakan PLT Disdik yang membuat Pulau Terpulaukan, nanti bisa kita lihat dalam episode selanjutnya.

Lanjutan dari Pulau Terpulaukan juga terjadi pada program Disperindag. Waktu itu Kepala Disperindag Kabupaten Sumenep, di jabat oleh Agus Dwi Saputra,

Pasar yang di bangun untuk meningkatkan ekonomi rakyat, kini mangkrak jadi tempat kambing beranak.

Pasar Kangayan hingga kini belum difungsikan, menyebabkan masyarakat harus jauh membawa dagangannya ke kecamatan tetangga.

Saya menghela nafas panjang dalam lamunan, hati bertanya dimanakah nurani Bupati? Dimanakah Tanggungjawab Agus? Seolah mereka semua telah cuci tangan dengan air Zamzam. Sesekali berdo’a dalam hati, mudah-mudahan Agus tersentuh rasa risau GTT dan PTT. Dalam Pulau ter-pulaukan banyak fakir miskin dalam naungan fakir miscall.

Sumenep, 11 Januari 2023.

Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Baca Juga :  OPINI: Koherensi karakter Abu Lahab dengan Eks Mantan PM Israel Ariel Sharon

Bagikan

TINGGALKAN BALASAN

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

TINGGALKAN BALASAN

INDEKS

REKOMENDASI

Terpopuler

1
2
3
4
5

Lembar XIII: Takdir Pulau Terpulaukan

Penulis Oleh: Fauzi As

Gulita Dalam Lingkar Cahaya

Tokoh dan Aktivis kepulauan Sumenep terus memperjuangkan hak-hak mereka. Suara rintihan dan keadilan tertinggal di Dermaga. Janji politik tenggelam, teramuk gelombang di dasar samudera. Bismillah Melayani seolah berlaku dalam lingkar ketiak Bupati.

Gelap Pulaunya Pulau, Terang Migas di Sebrang

Tiga puluh tahun lalu, semasa saya masih sekolah SD, ada tradisi tahunan keluarga yaitu bersilaturahmi ke rumah kerabat di Jawa. Orang Jawa menyebut saya, Fauzi anak Pulau Madura. Dalam pikiran saya memang “Madura Bukan Jawa”.

Waktu itu, usia saya sembilan tahun. Namun sudah bisa merasakan ketimpangan Jawa Madura. Saya menaiki bus dari Sumenep menuju Kamal, tempat kapal-kapal menyeberangkan penumpangnya.

Di sepanjang jalan Pulau Jawa penuh lampu bercahaya terang. Saya pun berharap kapan cahaya itu bisa hadir di kampung halaman.

Mimpi anak SD saat mau mengaji harus membawa patungan minyak tanah, jahatnya jalan berlumpur menjadi penghalang ilmu pengetahuan.

Setengah perjalanan menikmati cahaya, akhirnya saya tiba di Ajung, sebuah desa di Kecamatan Kalisat, Kabupaten Jember.

Perjalanan Melelahkan, Sepuluh Jam di Atas Bus Menikmati Cita Membuang Perih Kenangan

Sore, saya pun pergi menuju pasar Genteng dengan jalan mulus, semulus kulit Banteng. Begitulah nasib anak Pulau tiga puluh tahun yang lalu, gelap terang Pulau dan Kota, lumpur jalanku masih terasa.

Dengan membawa rasa tiga puluh tahun lalu, saya pun harus bersuara jika dulu saya merasa “Madura Bukan Jawa”. Jangan sampai rasa itu tertular dengan rasa bernasib sama.

Kangean Bukan Sumenep…?
Sapeken Bukan Sumenep..?
Sepudi dan Ra’as Bukan Sumenep..?
Dst…

Saya Memiliki Rasa Bersama Barisan Pulau yang Ter-pulaukan

Pulau yang juga berkontribusi membangun pusat-pusat kekuasaan, terpinggirkan jadi banteng-banteng perahan.

Kebutuhan yang Fundamental, Infrastruktur, Kesehatan dan Pendidikan hanya menjadi mimpi dan harapan.

Bismillah Melayani, barter dengan Mencintai Tanpa Dicintai, ibu-ibu melahirkan bayi-bayi mereka diatas perahu, Bupati sibuk ciptakan lagu.

Contoh kecil saja, dari Pulau ter-pulaukan. Pada 2021 lalu, salah satu lembaga pendidikan di kepulauan mendapat bantuan Pengadaan Alat Praktik dan Peraga Siswa. Bantuan ini saya istilahkan dengan Program “Salah Baca”, entah yang salah baca siapa.

Bantuan LCD Proyektor dengan Merek  Panasonic “Salah Baca” menjadi Viewsonic. Kata teman saya yang bergelut dalam bisnis IT, Harga Proyektor dengan merek itu selisihnya jauh berbeda, sembari menunjukkan berapa selisih angka.

“Ini tidak boleh, sebab merek yang ditetapkan pada DPA realisasinya berbeda, saya curiga 100% ini merugikan negara,” ujar teman yang sesekali menghisap rokoknya.

Saya pun hanya menjawab, itu kebijakan “Salah Baca”, bisa saja diakibatkan oleh pandangan mata yang mulai rabun, teman yang menyimak lalu tertawa.

Ia meneruskan membaca berkas yang dipegangnya kemudian dia melanjutkan komentarnya, “ini pengadaan laptopnya juga beda merek, tentu harganyapun beda,” ungkapnya.

Kemudian saya mengambil berkasnya untuk membaca ulang dengan seksama. Dan ternyata benar saja.

LCD Proyektor
Spesifikasi : Panasonic PT-LB303 – (C) Rp8.640.000.

Notebook
Spesifikasi : Lenovo, V130. Intel Core i3-
7020U, Layar 14″ HD (1366 x 768), 1 TB
HDD, 4GB DDR4, AMD Radeon 530 2GB,
Microsoft Windows 10 Home – (C) Rp8.454.000.

Linovo ganti Dell, Panasonic ke Viewsonic. Tiba-tiba pikiran dan kalkulator korup saya pun muncul. Seandainya satu lembaga dengan bantuan 25 unit laptop dan setiap unitnya selisih harga 2 juta, sudah 50 juta juga. Kalau dijumlahkan tujuh lembaga pendidikan, belum harga LCD Proyektonya.

Ya, waktu itu dalam pikiran saya yang kotor sebagai koruptor. Namun saya pun mencoba menepisnya, sebab itu tidak boleh, itu dilarang, nanti masuk neraka.

Dan faktanya Kebijakan “Salah Baca” itu terjadi saat PLT Kadisdik, berdasarkan Surat Perintah Nomor : 821.4/880/435.203.3/2020 Mohamad Iksan, resmi ditunjuk sebagai PLT Kepala Dinas Pendidikan, sejak 28 Desember 2020.

Ya.. beliau bapak Iksan, PLT yang dulu sempat dipersoalkan oleh LBH FORpKOT karena SK-nya dianggap kadaluarsa.

Memang sejak awal Herman Wahyudi, S.H. (LBH FORpKOT) menilai jika SK Plt Kepala Dinas Pendidikan Sumenep, tidak sesuai dengan pedoman Surat Edaran Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 2/SE/VII/2019.

Saya pun membuka kembali data-data lama saat Iksan memimpin Disdik pada tahun itu, lalu saya menemukan data yang sangat menggelikan. Seorang PLT Kadisdik membuat kebijakan melampaui tugas dan kewenangannya.

Contoh kebijakan “Salah Baca” yang kedua ini, ketika ia mengeluarkan Ijin Operasional Penyelenggaraan sekolah swasta dengan Nomor : 420/100/435.101.4/2021.

Piagam itu, ia tandatangani pada tanggal 26 Januari 2021. Sementara data Piagam yang kedua, dikeluarkan pada 31 Mei 2021, dengan Nomor :420/131/435.101.4/2021.

Jika nomor dalam Piagam yang ditulis tangan pada angka /100/ dan /131 itu kita jumlahkan sudah ada berapa Piagam yang ia buat, dengan melanggar dan tanpa kewenangan. Mudah-mudahan pada waktu dia hanya “Salah Baca”, dia tidak sedang berbisnis.

Sebab penerbitan perpanjangan izin operasional sekolah swasta, telah menunjukkan bahwa dia sebagai PLT tidak memahami tupoksi yang sudah diatur dengan Peraturan Bupati (Perbup) Sumenep Nomor 33 Tahun 2021, yang merupakan perubahan dari Perbup Sumenep Nomor 42 Tahun 2018.

Lalu apa kira-kira akibat hukum dari ijin operasional yang diterbitkan? Bagaimana pertanggungjawaban pengelolaan anggarannya..?

Apa saja kebijakan PLT Disdik yang membuat Pulau Terpulaukan, nanti bisa kita lihat dalam episode selanjutnya.

Lanjutan dari Pulau Terpulaukan juga terjadi pada program Disperindag. Waktu itu Kepala Disperindag Kabupaten Sumenep, di jabat oleh Agus Dwi Saputra,

Pasar yang di bangun untuk meningkatkan ekonomi rakyat, kini mangkrak jadi tempat kambing beranak.

Pasar Kangayan hingga kini belum difungsikan, menyebabkan masyarakat harus jauh membawa dagangannya ke kecamatan tetangga.

Saya menghela nafas panjang dalam lamunan, hati bertanya dimanakah nurani Bupati? Dimanakah Tanggungjawab Agus? Seolah mereka semua telah cuci tangan dengan air Zamzam. Sesekali berdo’a dalam hati, mudah-mudahan Agus tersentuh rasa risau GTT dan PTT. Dalam Pulau ter-pulaukan banyak fakir miskin dalam naungan fakir miscall.

Sumenep, 11 Januari 2023.

Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Baca Juga :  Masyarakat Antusias Ikuti Kajian Milenial Rabithah Thaliban Aceh Utara, Bahas Qanun Desa

Tag

Bagikan :

TINGGALKAN BALASAN

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

TINGGALKAN BALASAN

REKOMENDASI

Terpopuler

1
2
3
4
5