Oleh: Lezia Maharani
Kontras.net – Naskah dan Islam di Asia Tenggara Sebuah proses yang tidak dapat terlakkan karena adanya adaptasi, peralihan dan perubahan gagasan dalam proses pribumi. Naskah- naskah zawiyah tanoh abee mempertontonkan proses adaptasi teks-teks arab atau parsi menjadi teks-teks lokal, dan dapat mempertontonkan proses adaptasi teks-teks Arab atau Parsi menjadi teks-teks lokal, juga dapat membuktikan proses perubahan ide dari sumber aslinya.
Harmoni gagasan islam dalam budaya lokal seperti cermin dalam tradisi naskah- naskah Melayu, tatapi yang lain tetap menunjukkan adanya pergulatan kalau tidak perlawanan seperti tampak dalam tradisi naskah-naskah jawa, contoh Serar Cebolek, Serat Gotoloco, Serat Inintini, dan lain-lain tetapi hal ini tidak mengambarkan adanya islamisasi jawa, tetapi juga Jawanisasi islam.
Proses kimiawi ada dalam banyak naskah Nusantara, tujuanya agar teks-teks yang ada didalamnya nyaris selalu mengambarkan dinamika Islamloakl yang terdapat di berbagai wilayah tempat Islam berkembang.
Tradisi Intelektual Islam di Aceh
Naskah-naskah masih dapat dijumpai di wilayah asalnya, ada beberapa lagi telah tersebut sejumlah perpustakaan di luar Aceh, baik di dalam maupun di luar negri, seperti Perpustakaan lainnya. Aceh telah mewariskan khazanah naskah, puluhan ribu naskah dipastikan berawal dari Sumatra Utara yang dikenal dengan sebutan Tanah Renong.
Aceh telah mewariskan khazanah naskah, puluhan ribu naskah dipastikan berawal dari Sumatra Utarayang dikenal sebagai Tanah Rencong, sebagian naskah-naskah tersebut masih dapat dijumpai di wilayah asalnya, dan sebagian lagi telah tersebar sejumlah perpustakaan di luar Aceh, baik di dalam maupun di luar negri, seperti Perpustakaan lainnya.
Naskah-naskah keagamaan karangan para penulis yang notabene adalag tokoh agama atau ulana terkemuka pada masanya seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddi al-Symantari, Nurudin al-Raniri, Abdurauf ibn Ali al-Jawi al-Fansuri, Muhammad Zain anak fakih Jalaludin, Teungku Khatib Langgien, dan beberapa tokoh lainnya, dan orang-orang itulah yang membuat khazanah naskah Aceh menjadi sangat kental dan cenderung identik dengan khazanah keislaman. Kemudian persentuhan tradisi tulis dengan proses islamisasi yang terjadi pada masa awal di Aceh telah membentuk karakterstik dan kekhasannya.
Khazanah naskah Aceh ditulis dalam tiga bahasa seperti Arab, Melayu dan Aceh hal ini dikarenakan memperhatikan kekayaan naskah aceh dan signifikannya dalam tradisi tulis di Nusantara secara keseluruhan, jadi tak heran kemudian khazanah Aceh ditulis dalam tiga bahasa tersebut.
Sifat koleksi naskah ini dapat dianggap mewakili gambaran dinamika tradisi keagamaan masyarakat Aceh masa lalu, oleh karena itu Sesungguhnya koleksi di Zawiyah Tanoh Abee ini patut mendapat perhatian tersendiri.
Tentang Zawiyah Tanoh Abee dan Ahli Warisnya Konteks Aceh mengemukakan kata ‘Zawiyah’ merupakan tempat beribahan yang dibangun beserta fasilitas belajar mengajar didalamnya. Saat nama populer digunakan sekarang adalah ‘Dayah’ dalam tulisannya berkaitan dengan Tanoh Abee tetap menggunakan kata Zawiyah karena dengan alasannya kata tersebut konsisten dalam sampul naskah-naskahnya selain juga tertulis dalam papan nama Zawiyah Tanoh Abee sendiri. Tanah Abee adalah sebuah permukiman yang terdiri atas beberapa buah desa di Kecamatan Seulimum, Kabupaten Aceh Besar dan terleltak k.l 45 kilometer arah timur Banda Aceh, ibukota Naggroe Aceh Darusallam.
Manuskrip Kaifiat Qulhu Silsilah Qulgu merupakan manuskrip koleksi Dyah Tanoh Abee, manuskrip ini telah didigitalisasikan oleh Oman Fathurahman. Kemudian Nama Silsilah Qulhu penulis mengambil dari kalimat awal bunyi naskah yang berbunyi :Bismillahirahmanirahim faidah inilah kaifat diamalkan qul huwa Allah ahad.
Transkripsi dan Transliterasi Manuskrip Kaifiat Qulhu Ada dua hal yang dianggap tidak memiliki landasan kuat yaitu adanya penyandaran pembaca terhadapa tarekat Alawiyah dan landasan hadis atas praktik yang berimplikasi pada kritik tahlil.
Penulis menyimpulkan awalnya mengetahui bahwa tarekat atau thoriqah merupakan mengamalkan wirid saja. Tetapi ternyata setelah membaca lebih alnjut tentang tarekat ternyata tidak sesimpel itu dan harus memerlukan syarat dan prasyaratan seperti mursyid ba’at dan lain untuk mengikuti suatu tarekat. Alawiyah tidak cukup memadai disebut sebagai tarekat karena tidak memiliki struktur mursyid atau khalifah, ba’at dan lainnya.
Jadi kesimpulan artikel ini penulis dapat membandingkan antara dua artikel pertama yang membahas tentang karakterstik naskah Islam koleksi Zawiyah Tanoh Abee, Aceh Besar, yang natara lain ditunjukan melalui berbagai catatan marginalia yang dibuat oleh penyalin naskah, maupun melalui catatan sampul tersebut dapat ditempatkan sebagai salah satu bentuk sumber penting dalam merekontruksi sejarah sosial Zawiyah Tanoh Abee, yang merupakan salah satu skriptorium naskah keagamaan di Sumatra Bagian Utara ini.
Kemudian penulis juga mengemukakan karakterstik sejumlah naskah koleksi Zawiyah Tanoh Abee yang dapat memberikan gambaran tentang afiliasi dan kecendrungsn pemikirann atau naskah keagamaan masyarakat Muslim Aceh yang terkubur dengannya.
Kajian ini sebenarnya masih terbatas dibanding jumlah naskahnya, padahal sebagian warisan sejarah islam di Aceh maupun Nusantara secara keseluruhan/
Sedangkan artikel kedua membahas tentang amalan surat al-ikhlas dan keutamaan mengamalkannya.
Penulis juga menggemukakan perdebatan jumlah manuskrip yang tersimpan di Dayah Tanoh Abee, yang pasti warisan manuskrip yang tersimpan di Dayah Tanoh Abee, terbangun sejak Dayah ini berdiri di abad ke-17. Seperti diungkap Oman Fathurahman bahwa sebelum semua manuskrip tersimpam di Dayah Tanoh Abeee sudah dipublishkan. Salah satu naskah koleksi Dayah Abee yang sudh terdigitalisasi tetapibelum dipublishkan adalah naskah berkode 02_01327-MS Tanoh Abee_Silsilah Qulhu tarekat habib Abdullah b Alawi b Muhamma Haddad_silsilah Abdul Wahab(00009)_nifsu_syaban. Koleksi digital ini diberikan kepada penulis untuk diteliti lebih lanjut.