JAKARTA, Kontras.net | Komisi DPRA yang dipimpin Ketuanya Iskandar Usman Al-Farlaky, menjumpai KPU RI untuk menyampaikan penyelenggara pemilu agar PKPU yang dikeluarkan nantinya memuat daftar usulan kuota caleg 120 persen dari partai politik lokal (Parlok).
Pertemuan antara Komisi 1 DPRA dan KPU RI berlangsung di Gedung KPU Pusat di Jalan Imam Bonjol NO 29, Jakarta. Dari KPU hadir Deputi Teknis Eberta Kawima, dan staf KPU lainnya. Hadir juga dari Komisi 1 DPRA Samsul Bahri Bin Amiren, Nora Indah Nita, Tgk Attarmizi Hamid, Drs Taufik, dan Nuraini Maida.
Iskandar Al-Farlaky dalam pemaparannya menyampaikan bardasarkan Pasal 17 Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota menjelaskan bahwa daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 memuat paling banyak 120% (seratus dua puluh perseratus) dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan.
Lalu, lahirnya Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 merupakan amanah atau delegasi dari Pasal 80 ayat (1) huruf d dan huruf e dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 80 ayat (1) huruf d dan e mengatur tentang hak partai politik lokal ikut serta dalam Pemilu untuk memilih anggota DPRA DPRK dan hak mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan DPRA/DPRK. Pasal 80 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 mendelegasikan pengaturan tentang keikutsertaan partai politik lokal dan mengajukan calon dalam Pemilu diatur dengan Qanun Aceh.
Kemudian, kata dia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan undang-undang yang bersifat khusus dan khusus berlaku di Aceh. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 merupakan turunan dari Undang-Undang Pemerintahann Aceh yang bersifat khusus merupakan bagian dari kekhususan. Sehingga sangat rasional apabila partai politik lokal yang lahir atas dasar Undang-Undang Khusus juga diperlakukan khusus agar dapat setara dengan partai politik nasional atau dengan kata lain kekhususan adalah tindakan afirmasi (diskriminasi positif).
Kata dia, dalam hukum administrasi negara dikenal dengan asas presumption justea causa bahwa setiap keputusan yang dibuat oleh pejabat/badan berwenang harus dianggap sah kecuali ada putusan pengadilan yang menyatakan tidak sah. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 dibuat oleh badan yang berwenang dalam hal ini DPRA dan Gubernur, masih sah berlaku mengikat karena belum ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya dan belum pula dicabut atau diamandemen.
Bisa dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan lain misalnya bertentangan dengan perundangan yang lebih tinggi, masih tetap sah dan berlaku mengikat serta menjadi payung dalam tindakan atau keputusan yang dibuat oleh otoritas yang diberi wewenang sepanjang belum putuskan tidak berlaku atau dicabut.
“Dalam memaknai konsep perlakuan adil dan setara tidak berarti harus diperlakukan sama, bahwa perlakuan yang sama pada kondisi yang sama, kalau kondisi tidak sama maka diperlakukan berbeda. Antara partai nasional dan partai lokal berada pada kondisi berbeda, partai lokal masih baru membutuhkan penguatan. Sementara partai nasional sudah lama keberadaannya dalam gelanggang politik rakyat. Sehingga dapat diperlakukan tidak sama, untuk itu partai lokal mengajukan 120% calegnya disetiap dapil bukanlah tidak adil atau tidak setara,” ujar politisi asal Aceh Timur ini.
Sambungnya, pengajuan Caleg 120 persen pada setiap daerah pemilihan bagi Parlok di Provinsi Aceh bahkan sudah dilaksanakan mulai Pemilu 2009, 2014 dan 2019 berdasarkan regulasi khusus yang berlaku di Aceh, dan akan menimbulkan ketidak pastian hukum bila ditafsirkan berbeda untuk Pemilu 2024.
“Kami mengingatkan dari awal sehingga KPU RI bisa memahami dan tidak salah mengambil sikap dalam menuangkan pada juknis PKPU nantinya. Semoga ini bisa menjadi rujukan dan bahan pertimbangan KPU untuk memutuskan kebijakan terkait Aceh, yang memang memiliki kekhususan dari provinsi lain di Indonesia,” terang Iskandar Usman Al-Farlaky.