/

Suriah, Saksi bisu kasus Paling Tragis dari Arab Spring

Kontras.net | Arab Spring Gelombang Revolusi negara-negara Arab. Arab Spring adalah serangkaian pemberontakan pro-demokrasi yang terjadi di dunia Arab pada awal 2010-an. Gerakan ini dipicu oleh ketidakpuasan rakyat terhadap rezim yang otoriter, korupsi, pengangguran, dan kurangnya kebebasan politik di negara-negara Arab. Dimulai pada akhir 2010 di Tunisia, Arab Spring menyebar dengan cepat ke negara-negara lain seperti Mesir, Libya, Suriah, Yaman, dan Bahrain, mengakibatkan perubahan politik besar dan sering kali menjadi konflik yang berkepanjangan.

Asal Mula dari Tunisia

Arab Spring dimulai di Tunisia pada 17 Desember 2010, ketika seorang pedagang buah bernama Mohamed Bouazizi menggelar aksi membakar diri sebagai protes terhadap perlakuan buruk oleh polisi dan kondisi ekonomi yang buruk. Aksi Bouazizi memicu demonstrasi massal di seluruh Tunisia yang menuntut diakhirinya rezim otoriter Presiden Zine El Abidine Ben Ali. Pada Januari 2011, Ben Ali melarikan diri dari negara itu, menandai jatuhnya rezimnya dan keberhasilan pertama gerakan ini.

Protes anti-pemerintah terhadap Presiden Bashar al-Assad yang dimulai pada Maret 2011 awalnya bersifat damai, tetapi setelah tindakan keras oleh pemerintah, protes berubah menjadi perang saudara yang brutal. Konflik ini menarik keterlibatan internasional, dengan kekuatan asing yang mendukung berbagai faksi yang terlibat dalam konflik. Hingga kini, perang di Suriah masih berlangsung, mengakibatkan krisis kemanusiaan yang sangat besar.

Krisis dan Perang Saudara di Yaman

Yaman juga terjerat dalam gejolak Arab Spring, di mana protes menuntut pengunduran diri Presiden Ali Abdullah Saleh. Meskipun Saleh akhirnya meletakkan jabatan pada 2012, Yaman terperosok dalam konflik bersenjata antara pemerintah yang didukung oleh koalisi Arab Saudi dan pemberontak Houthi. Perang di Yaman telah menyebabkan bencana kemanusiaan dengan jutaan orang terancam kelaparan dan korban sipil yang tinggi.

Protes yang dapat Diredam di Bahrain

Di Bahrain, protes besar-besaran yang dipimpin oleh mayoritas Syiah menuntut reformasi politik dari monarki Sunni. Meskipun gerakan ini memperoleh dukungan yang luas, pemerintah Bahrain, dengan dukungan militer dari negara-negara Teluk seperti Arab Saudi, menindak keras para demonstran. Tidak seperti di Tunisia atau Mesir, protes di Bahrain tidak berhasil menggulingkan pemerintah.

Menyebar ke Mesir

Tak lama setelah revolusi di Tunisia, gerakan protes menyebar ke Mesir, di mana rakyat Mesir menuntut pengunduran diri Presiden Hosni Mubarak, yang telah memerintah selama hampir 30 tahun. Pada 25 Januari 2011, ribuan warga Mesir berkumpul di Lapangan Tahrir di Kairo, memprotes korupsi, kekejaman polisi, dan kemiskinan. Setelah 18 hari protes besar-besaran dan tekanan internasional, Mubarak mengundurkan diri pada 11 Februari 2011.

Revolusi di Libya

Di Libya, gerakan Arab Spring berkembang menjadi perang saudara. Protes melawan rezim Muammar Gaddafi, yang telah memerintah sejak 1969, berubah menjadi pemberontakan bersenjata. Ketika kekerasan meningkat, Dewan Keamanan PBB memberikan otorisasi untuk intervensi militer oleh NATO, yang akhirnya membantu kelompok oposisi menggulingkan Gaddafi. Pada Oktober 2011, Gaddafi tewas di tangan pemberontak, tetapi Libya terus mengalami kekacauan dan kekerasan setelah jatuhnya rezimnya.

Arab Spring telah menghasilkan dampak yang beragam di berbagai negara. Di Tunisia, meskipun mengalami kesulitan politik, negara ini berhasil membentuk demokrasi yang lebih terbuka. Namun, di negara-negara lain seperti Libya, Suriah, dan Yaman, gerakan ini memicu perang saudara yang berkepanjangan dan krisis kemanusiaan. Di Mesir, demokrasi yang lahir dari Arab Spring hanya bertahan sebentar sebelum militer mengambil alih kekuasaan lagi pada 2013, menggulingkan Presiden Mohamed Morsi yang terpilih secara demokratis.

Arab Spring menunjukkan kekuatan rakyat dalam menuntut perubahan politik, tetapi juga memperlihatkan tantangan besar dalam transisi dari rezim otoriter menuju demokrasi yang stabil. Meski beberapa negara, seperti Tunisia, berhasil melakukan reformasi politik, banyak negara lain masih terjebak dalam konflik dan ketidakstabilan yang lahir dari peristiwa tersebut.

Referensi:

aljazeera.com/news/2020/12/1

Anderson, Lisa. “Demystifying the Arab Spring: Parsing the Differences Between Tunisia, Egypt, and Libya”. Foreign Affairs, 2011.

Gause, F. Gregory III. “The Middle East Cold War: Iran-Saudi Rivalry after the Arab Spring”. Brookings Institution, 2014.

Lynch, Marc. The Arab Uprising: The Unfinished Revolutions of the New Middle East. PublicAffairs, 2012.

Bagikan

TINGGALKAN BALASAN

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

TINGGALKAN BALASAN

INDEKS

REKOMENDASI

Terpopuler

1
2
3
4
5

Suriah, Saksi bisu kasus Paling Tragis dari Arab Spring

Kontras.net | Arab Spring Gelombang Revolusi negara-negara Arab. Arab Spring adalah serangkaian pemberontakan pro-demokrasi yang terjadi di dunia Arab pada awal 2010-an. Gerakan ini dipicu oleh ketidakpuasan rakyat terhadap rezim yang otoriter, korupsi, pengangguran, dan kurangnya kebebasan politik di negara-negara Arab. Dimulai pada akhir 2010 di Tunisia, Arab Spring menyebar dengan cepat ke negara-negara lain seperti Mesir, Libya, Suriah, Yaman, dan Bahrain, mengakibatkan perubahan politik besar dan sering kali menjadi konflik yang berkepanjangan.

Asal Mula dari Tunisia

Arab Spring dimulai di Tunisia pada 17 Desember 2010, ketika seorang pedagang buah bernama Mohamed Bouazizi menggelar aksi membakar diri sebagai protes terhadap perlakuan buruk oleh polisi dan kondisi ekonomi yang buruk. Aksi Bouazizi memicu demonstrasi massal di seluruh Tunisia yang menuntut diakhirinya rezim otoriter Presiden Zine El Abidine Ben Ali. Pada Januari 2011, Ben Ali melarikan diri dari negara itu, menandai jatuhnya rezimnya dan keberhasilan pertama gerakan ini.

Protes anti-pemerintah terhadap Presiden Bashar al-Assad yang dimulai pada Maret 2011 awalnya bersifat damai, tetapi setelah tindakan keras oleh pemerintah, protes berubah menjadi perang saudara yang brutal. Konflik ini menarik keterlibatan internasional, dengan kekuatan asing yang mendukung berbagai faksi yang terlibat dalam konflik. Hingga kini, perang di Suriah masih berlangsung, mengakibatkan krisis kemanusiaan yang sangat besar.

Krisis dan Perang Saudara di Yaman

Yaman juga terjerat dalam gejolak Arab Spring, di mana protes menuntut pengunduran diri Presiden Ali Abdullah Saleh. Meskipun Saleh akhirnya meletakkan jabatan pada 2012, Yaman terperosok dalam konflik bersenjata antara pemerintah yang didukung oleh koalisi Arab Saudi dan pemberontak Houthi. Perang di Yaman telah menyebabkan bencana kemanusiaan dengan jutaan orang terancam kelaparan dan korban sipil yang tinggi.

Protes yang dapat Diredam di Bahrain

Di Bahrain, protes besar-besaran yang dipimpin oleh mayoritas Syiah menuntut reformasi politik dari monarki Sunni. Meskipun gerakan ini memperoleh dukungan yang luas, pemerintah Bahrain, dengan dukungan militer dari negara-negara Teluk seperti Arab Saudi, menindak keras para demonstran. Tidak seperti di Tunisia atau Mesir, protes di Bahrain tidak berhasil menggulingkan pemerintah.

Menyebar ke Mesir

Tak lama setelah revolusi di Tunisia, gerakan protes menyebar ke Mesir, di mana rakyat Mesir menuntut pengunduran diri Presiden Hosni Mubarak, yang telah memerintah selama hampir 30 tahun. Pada 25 Januari 2011, ribuan warga Mesir berkumpul di Lapangan Tahrir di Kairo, memprotes korupsi, kekejaman polisi, dan kemiskinan. Setelah 18 hari protes besar-besaran dan tekanan internasional, Mubarak mengundurkan diri pada 11 Februari 2011.

Revolusi di Libya

Di Libya, gerakan Arab Spring berkembang menjadi perang saudara. Protes melawan rezim Muammar Gaddafi, yang telah memerintah sejak 1969, berubah menjadi pemberontakan bersenjata. Ketika kekerasan meningkat, Dewan Keamanan PBB memberikan otorisasi untuk intervensi militer oleh NATO, yang akhirnya membantu kelompok oposisi menggulingkan Gaddafi. Pada Oktober 2011, Gaddafi tewas di tangan pemberontak, tetapi Libya terus mengalami kekacauan dan kekerasan setelah jatuhnya rezimnya.

Arab Spring telah menghasilkan dampak yang beragam di berbagai negara. Di Tunisia, meskipun mengalami kesulitan politik, negara ini berhasil membentuk demokrasi yang lebih terbuka. Namun, di negara-negara lain seperti Libya, Suriah, dan Yaman, gerakan ini memicu perang saudara yang berkepanjangan dan krisis kemanusiaan. Di Mesir, demokrasi yang lahir dari Arab Spring hanya bertahan sebentar sebelum militer mengambil alih kekuasaan lagi pada 2013, menggulingkan Presiden Mohamed Morsi yang terpilih secara demokratis.

Arab Spring menunjukkan kekuatan rakyat dalam menuntut perubahan politik, tetapi juga memperlihatkan tantangan besar dalam transisi dari rezim otoriter menuju demokrasi yang stabil. Meski beberapa negara, seperti Tunisia, berhasil melakukan reformasi politik, banyak negara lain masih terjebak dalam konflik dan ketidakstabilan yang lahir dari peristiwa tersebut.

Referensi:

aljazeera.com/news/2020/12/1

Anderson, Lisa. “Demystifying the Arab Spring: Parsing the Differences Between Tunisia, Egypt, and Libya”. Foreign Affairs, 2011.

Gause, F. Gregory III. “The Middle East Cold War: Iran-Saudi Rivalry after the Arab Spring”. Brookings Institution, 2014.

Lynch, Marc. The Arab Uprising: The Unfinished Revolutions of the New Middle East. PublicAffairs, 2012.

Tag

Bagikan :

TINGGALKAN BALASAN

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

TINGGALKAN BALASAN

REKOMENDASI

Terpopuler

1
2
3
4
5