/

Kepentingan Korporasi vs Kesejahteraan Rakyat: Menyikapi Perpanjangan Izin PT Mifa Bersaudara

Kontras.net, Banda Aceh| Keputusan perpanjangan izin PT Mifa Bersaudara hingga 2035 oleh Penjabat (Pj) Gubernur Aceh Bustami Hamzah menimbulkan berbagai pertanyaan dan kritik. Pasalnya, perusahaan ini sudah beroperasi selama lebih dari satu dekade dengan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar, khususnya di Gampong Peunaga Cut, Aceh Barat.

Dalam konteks ini, kita harus mempertanyakan apakah keputusan tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan berbasis pada kepentingan publik, atau justru lebih mengedepankan ambisi korporasi ketimbang kelangsungan hidup rakyat.


Ibnu Rahmat, S.H., M.H. (Praktisi Hukum dan Akademisi) mengatakan, Selama lebih dari 10 tahun operasinya, PT Mifa Bersaudara telah menimbulkan berbagai masalah, termasuk debu batu bara yang berdampak buruk pada kesehatan warga, dan mematikan usaha-usaha masyarakat. Warga yang tinggal di sekitar area operasional terus mengeluhkan gangguan yang disebabkan oleh aktibitas pertambangan.

“Namun, alih-alih melakukan evaluasi yang menyeluruh terhadap dampak sosial-ekologis yang ditimbulkan, pemerintah Aceh justru memperpanjang izin perusahaan hingga 2035.” Katanya.


Dalam kerangka hukum dan kebijakan publik, keputusan ini mencerminkan kegagalan pemerintah untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam melindungi lingkungan serta masyarakat yang terdampak oleh aktivitas ekonomi. “Pasal 33 UUD 1945, yang menekankan pengelolaan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat, seolah diabaikan dalam pengambilan keputusan ini. Pemerintah seharusnya memprioritaskan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat sebagai hal utama dalam pertimbangan pengambilan keputusan, bukan malah mengutamakan kepentingan korporasi,” sambungnya.


Salah satu isu utama yang perlu disorot adalah kejanggalan dalam proses perpanjangan IUP. PT Mifa Bersaudara sejatinya masih memiliki izin operasi hingga Agustus 2025, namun IUP tersebut diperpanjang setahun lebih awal, tepat sebelum

Masa jabatan Bustami Hamzah sebagai Pj Gubernur berakhir. Pertanyaan besar yang muncul adalah mengapa perpanjangan ini dilakukan dengan begitu tergesa-gesa?
Secara administratif, proses perpanjangan izin yang begitu cepat tanpa adanya evaluasi lingkungan yang memadai mengindikasikan kemungkinan adanya kepentingan tersembunyi yang perlu diusut lebih lanjut.

“Keputusan ini terkesan dibuat secara tertutup dan tidak transparan, menyalahi prinsip akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan yang seharusnya mengutamakan keterbukaan dan partisipasi publik.
Dalam laporan Panitia Khusus (Pansus) Pertambangan DPRA, muncul rekomendasi untuk segera melakukan audit lingkungan terhadap PT Mifa Bersaudara.” Pungkasnya.

Audit ini diperlukan untuk mengevaluasi sejauh mana kerusakan lingkungan dan dampak sosial yang telah ditimbulkan oleh perusahaan selama beroperasi. Tanpa audit yang independen dan menyeluruh, keputusan memperpanjang izin operasional perusahaan tersebut berpotensi melanggar prinsip keberlanjutan dan tanggung jawab sosial perusahaan.


Berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan, setiap aktivitas ekonomi harus mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat. Selain itu, siapapun yang melakukan eksploitasi sumber daya alam harus memperhitungkan dampaknya terhadap ekosistem dan kehidupan masyarakat setempat. Pemerintah Aceh wajib memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tidak hanya menguntungkan secara ekonomi dalam jangka pendek, tetapi juga mendukung kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang.


Menurut Ibnu, dari sudut pandang hukum. “Perlu ada evaluasi mendalam terkait perpanjangan IUP ini. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa setiap aktivitas yang berpotensi merusak lingkungan harus melalui proses izin yang ketat dan evaluasi dampak lingkungan yang menyeluruh. Jika PT Mifa Bersaudara terbukti melanggar ketentuan-ketentuan ini, maka pemerintah Aceh wajib mengambil langkah tegas, termasuk mencabut izin operasional perusahaan tersebut, jika memang dirasa perlu,” tandasnya.


Selain itu, peraturan pemerintah mengharuskan partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan terkait izin pertambangan. Kurangnya transparansi dan partisipasi masyarakat dalam perpanjangan IUP PT Mifa Bersaudara menunjukkan pelanggaran terhadap prinsip demokrasi dan akuntabilitas. Selanutnya terkait penggunaan lahan di Aceh diatur dalam peraturan daerah yang seharusnya melindungi kepentingan masyarakat lokal. Jika perpanjangan IUP mengabaikan ketentuan yang ada dalam peraturan daerah, maka itu dapat mengakibatkan konflik antara kepentingan perusahaan dan kebutuhan masyarakat, yang berpotensi merugikan masyarakat secara luas.


Keputusan ini mencerminkan minimnya tanggung jawab moral pemerintah terhadap masyarakat yang terdampak. Kebijakan publik seharusnya berpihak pada masyarakat yang rentan terhadap dampak buruk kebijakan ekonomi. Pemerintah Aceh perlu meninjau kembali apakah keputusan memperpanjang izin PT Mifa Bersaudara sejalan dengan etika pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan publik.


Sambungnya, Perpanjangan IUP PT Mifa Bersaudara oleh Bustami Hamzah menimbulkan kekhawatiran serius terkait transparansi dan keberpihakan kebijakan pemerintah Aceh. Dengan berbagai dampak masalah lingkungan yang telah dilaporkan selama bertahun-tahun, seharusnya pemerintah terlebih dahulu melakukan audit lingkungan yang menyeluruh dan independen.

Keputusan yang diambil tanpa memperhatikan dampak sosial dan ekologi, serta tidak mengutamakan partisipasi publik, akan semakin merusak kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam mewujudkan prinsip pembangunan berkelanjutan
Oleh karena itu, audit lingkungan segera diperlukan untuk memastikan bahwa setiap keputusan kebijakan yang diambil benar-benar melindungi kepentingan publik dan kelestarian lingkungan.

“Pemerintah Aceh juga perlu membuka proses pengambilan keputusan ini secara transparan, agar tidak ada lagi dugaan adanya kepentingan tersembunyi di balik keputusan yang diambil. Jika tidak, Aceh akan terus terjebak dalam siklus kebijakan ekonomi yang merugikan masyarakat lokal dan lingkungan, serta mengancam masa depan keberlanjutan wilayah tersebut.” Demikian.

Bagikan

TINGGALKAN BALASAN

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

TINGGALKAN BALASAN

INDEKS

REKOMENDASI

Terpopuler

1
2
3
4
5

Kepentingan Korporasi vs Kesejahteraan Rakyat: Menyikapi Perpanjangan Izin PT Mifa Bersaudara

Kontras.net, Banda Aceh| Keputusan perpanjangan izin PT Mifa Bersaudara hingga 2035 oleh Penjabat (Pj) Gubernur Aceh Bustami Hamzah menimbulkan berbagai pertanyaan dan kritik. Pasalnya, perusahaan ini sudah beroperasi selama lebih dari satu dekade dengan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar, khususnya di Gampong Peunaga Cut, Aceh Barat.

Dalam konteks ini, kita harus mempertanyakan apakah keputusan tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan berbasis pada kepentingan publik, atau justru lebih mengedepankan ambisi korporasi ketimbang kelangsungan hidup rakyat.


Ibnu Rahmat, S.H., M.H. (Praktisi Hukum dan Akademisi) mengatakan, Selama lebih dari 10 tahun operasinya, PT Mifa Bersaudara telah menimbulkan berbagai masalah, termasuk debu batu bara yang berdampak buruk pada kesehatan warga, dan mematikan usaha-usaha masyarakat. Warga yang tinggal di sekitar area operasional terus mengeluhkan gangguan yang disebabkan oleh aktibitas pertambangan.

“Namun, alih-alih melakukan evaluasi yang menyeluruh terhadap dampak sosial-ekologis yang ditimbulkan, pemerintah Aceh justru memperpanjang izin perusahaan hingga 2035.” Katanya.


Dalam kerangka hukum dan kebijakan publik, keputusan ini mencerminkan kegagalan pemerintah untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam melindungi lingkungan serta masyarakat yang terdampak oleh aktivitas ekonomi. “Pasal 33 UUD 1945, yang menekankan pengelolaan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat, seolah diabaikan dalam pengambilan keputusan ini. Pemerintah seharusnya memprioritaskan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat sebagai hal utama dalam pertimbangan pengambilan keputusan, bukan malah mengutamakan kepentingan korporasi,” sambungnya.


Salah satu isu utama yang perlu disorot adalah kejanggalan dalam proses perpanjangan IUP. PT Mifa Bersaudara sejatinya masih memiliki izin operasi hingga Agustus 2025, namun IUP tersebut diperpanjang setahun lebih awal, tepat sebelum

Masa jabatan Bustami Hamzah sebagai Pj Gubernur berakhir. Pertanyaan besar yang muncul adalah mengapa perpanjangan ini dilakukan dengan begitu tergesa-gesa?
Secara administratif, proses perpanjangan izin yang begitu cepat tanpa adanya evaluasi lingkungan yang memadai mengindikasikan kemungkinan adanya kepentingan tersembunyi yang perlu diusut lebih lanjut.

“Keputusan ini terkesan dibuat secara tertutup dan tidak transparan, menyalahi prinsip akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan yang seharusnya mengutamakan keterbukaan dan partisipasi publik.
Dalam laporan Panitia Khusus (Pansus) Pertambangan DPRA, muncul rekomendasi untuk segera melakukan audit lingkungan terhadap PT Mifa Bersaudara.” Pungkasnya.

Audit ini diperlukan untuk mengevaluasi sejauh mana kerusakan lingkungan dan dampak sosial yang telah ditimbulkan oleh perusahaan selama beroperasi. Tanpa audit yang independen dan menyeluruh, keputusan memperpanjang izin operasional perusahaan tersebut berpotensi melanggar prinsip keberlanjutan dan tanggung jawab sosial perusahaan.


Berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan, setiap aktivitas ekonomi harus mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat. Selain itu, siapapun yang melakukan eksploitasi sumber daya alam harus memperhitungkan dampaknya terhadap ekosistem dan kehidupan masyarakat setempat. Pemerintah Aceh wajib memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tidak hanya menguntungkan secara ekonomi dalam jangka pendek, tetapi juga mendukung kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang.


Menurut Ibnu, dari sudut pandang hukum. “Perlu ada evaluasi mendalam terkait perpanjangan IUP ini. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa setiap aktivitas yang berpotensi merusak lingkungan harus melalui proses izin yang ketat dan evaluasi dampak lingkungan yang menyeluruh. Jika PT Mifa Bersaudara terbukti melanggar ketentuan-ketentuan ini, maka pemerintah Aceh wajib mengambil langkah tegas, termasuk mencabut izin operasional perusahaan tersebut, jika memang dirasa perlu,” tandasnya.


Selain itu, peraturan pemerintah mengharuskan partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan terkait izin pertambangan. Kurangnya transparansi dan partisipasi masyarakat dalam perpanjangan IUP PT Mifa Bersaudara menunjukkan pelanggaran terhadap prinsip demokrasi dan akuntabilitas. Selanutnya terkait penggunaan lahan di Aceh diatur dalam peraturan daerah yang seharusnya melindungi kepentingan masyarakat lokal. Jika perpanjangan IUP mengabaikan ketentuan yang ada dalam peraturan daerah, maka itu dapat mengakibatkan konflik antara kepentingan perusahaan dan kebutuhan masyarakat, yang berpotensi merugikan masyarakat secara luas.


Keputusan ini mencerminkan minimnya tanggung jawab moral pemerintah terhadap masyarakat yang terdampak. Kebijakan publik seharusnya berpihak pada masyarakat yang rentan terhadap dampak buruk kebijakan ekonomi. Pemerintah Aceh perlu meninjau kembali apakah keputusan memperpanjang izin PT Mifa Bersaudara sejalan dengan etika pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan publik.


Sambungnya, Perpanjangan IUP PT Mifa Bersaudara oleh Bustami Hamzah menimbulkan kekhawatiran serius terkait transparansi dan keberpihakan kebijakan pemerintah Aceh. Dengan berbagai dampak masalah lingkungan yang telah dilaporkan selama bertahun-tahun, seharusnya pemerintah terlebih dahulu melakukan audit lingkungan yang menyeluruh dan independen.

Keputusan yang diambil tanpa memperhatikan dampak sosial dan ekologi, serta tidak mengutamakan partisipasi publik, akan semakin merusak kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam mewujudkan prinsip pembangunan berkelanjutan
Oleh karena itu, audit lingkungan segera diperlukan untuk memastikan bahwa setiap keputusan kebijakan yang diambil benar-benar melindungi kepentingan publik dan kelestarian lingkungan.

“Pemerintah Aceh juga perlu membuka proses pengambilan keputusan ini secara transparan, agar tidak ada lagi dugaan adanya kepentingan tersembunyi di balik keputusan yang diambil. Jika tidak, Aceh akan terus terjebak dalam siklus kebijakan ekonomi yang merugikan masyarakat lokal dan lingkungan, serta mengancam masa depan keberlanjutan wilayah tersebut.” Demikian.

Tag

Bagikan :

TINGGALKAN BALASAN

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

TINGGALKAN BALASAN

REKOMENDASI

Terpopuler

1
2
3
4
5