LPLHa bekerja sama dengan WGII melakukan AKKM di GP. Peurupok & Paya Bakong, selama tiga hari (20 s.d 22 Oktober 2024).
Aceh Utara, Kontras.net | Lembaga Pembelaan Lingkungan Hidup dan HAM Aceh (LPLHa) bekerja sama dengan Working Group ICCAs Indonesia (WGII) melakukan inventarisir Areal Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM) di gampong Peurupok Paya Bakong Aceh Utara. Selama tiga (3) hari (20-22 Oktober 2024), melalui kombinasi tiga (3) pola.
Hanif, (Kepala Devisi Konservasi LPLHa) menjelaskan, kegiatan ini dilaksanakan dengan pola kombinasi Diskusi, Wawancara dan survey lapangan (transek). Seluruh aktivitas yang dilakukan berbasis partisipatif, data yang dihimpun berbasis pengetahuan dan informasi dari Masyarakat. Kita berupaya agar Negara mengakui praktek-praktek baik yang selama ini berlaku di Masyarakat (adat).
Sebagaimana diketahui, Indonesia telah menerbitkan UU 32 tahun 2024 tetang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem, diharapkan nantinya melalui WGII, hasil dari pertemuan tiga (3) hari ini dapat memberikan masukan arus bawah (Masyarakat adat/local) untuk kesempurnaan undang-undang tersebut, serta diharapkan bernilai keberpihakan pada kepentingan Masyarakat adat/local dalam pengelolaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati.
Lebih lanjut, hanif menjelaskan, Hasil dari kegiatan ini nantinya berupa listing praktek-praktek baik yang dilakukan oleh masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan keanekaragaman hayati di Gampongnya, ”informasi penting lainnya seperti keberadaan sumber mata air, situs sejarah dan sejarah gampong yang selanjutnya menjadi dokumen tertulis yang menjadi bahan pendukung untuk upaya registrasi Areal Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM) gampong Peurupok,” jelasnya .
Reni Andriani (WGII) yang datang langsung dari bogor bersama Bryan Danu Oktonine (specialist spacial), di awal acara Diskusi menjelaskan sekilas tentang Areal Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM) adalah ekosistem yang memiliki keanekaragaman hayati, jasa ekologis dan nilai-nilai budaya yang signifikan yang dilindungi oleh masyarakat hukum adat/lokal dan dikelola berdasarkan suatu sistem hukum adat dan kearifan local yang berlaku di masyarakat.
“Selain untuk meningkatkan visibilitas ketersediaan data pengetahuan/kearifan local yang dimiliki oleh masyarakat, dokumentasi AKKM/ICCAs merupakan hal penting dalam upaya mendukung inisiatif akar rumput dan gerakan dalam memperjuangkan pengakuan pengetahuan local/kearifan local Masyarakat dalam mengelola dan melindungi sumber daya alamnya.
Reni juga memperkenalkan Working Group ICCA Indonesia, adalah anggota dari The ICCA Consortium yang sejak tahun 2011, membantu mengembangkan proses pendokumentasian AKKM.” Terangnya.
Sampai November 2024, mencatat sekitar 234 AKKM dengan luas lebih dari 582.000 hektar. Proses pendokumentasian AKKM termasuk registrasi, pengisian data sosial dan spasial, dan verifikasi.
Proses registrasi dan dokumentasi AKKM/ICCAs akan dilakukan di 4 lokasi, yaitu: Desa Peurupok dan Desa Lawang – Provinsi Aceh; serta Desa Rindu Hati Provinsi Bengkulu dan Desa Ulak Bandung.
“LPLHa, terus berupaya melakukan praktik-praktik baik untuk kepentingan perlindungan keanekaragaman hayati di Aceh Utara dengan tetap memperhatikan kearifan/kepentingan Masyarakat local. Sebelumnya pada 23-24 Septeber 2024 LPLHa juga telah memfasilitasi Geuchik Peurupok dan beberapa geuchik lainnya untuk bertemu dengan BKSDA Aceh dan DLHK Provinsi Aceh di Banda dalam issue Perlindungan Satwa dan Peningkatan ekonomi warga,” tutup hanif.