Pada tahun 2021, Indonesia mencatatkan total produksi energi primernya sebesar 481 juta TOE (Ton Oil Equivalent) yang terdiri dari minyak bumi, gas bumi, batubara dan energi terbarukan. Sebagian besar dari produksi tersebut diekspor terutama batubara dan LNG yang jumlahnya 280 juta TOE atau 58,2% dari total produksi. Tetapi, Indonesia juga mengimpor energi di sektor minyak mentah dan produk BBM sebesar 49 juta TOE, serta sejumlah kecil batubara kalori tinggi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sektor industri baja (OEI, 2022).
Konsumsi energi final Indonesia pada tahun 2021 mencapai angka 123 juta TOE, naik sekitar 1,6% karena upaya pemulihan ekonomi sepanjang tahun 2021. Berdasarkan penggunaannya, sektor transportasi masih memegang porsi terbesar sebesar 44,2% dari total konsumsi energi final. Dibandingkan tahun sebelumnya, konsumsi energi untuk transportasi naik sekitar 6,7%. Kenaikan ini terjadi seiring dengan peningkatan mobilitas masyarakat karena level pembatasan sosial dan jumlah kasus pandemi Covid-19 yang semakin turun serta meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang pada tahun 2012 berjumlah 94.373.324 unit menjadi 148.212.865 unit pada tahun 2022.
Berdasarkan jenis energinya, konsumsi energi oleh masyarakat masih didominasi oleh BBM, yakni mencapai 33 juta TOE (26,8%) dari total konsumsi energi final. Jika hal ini terus dipertahankan akan menghambat upaya pemerintah yang tertuang di Perpres No. 22 Tahun 2017 Tentang RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) dalam bauran tahun 2025 yaitu EBT 23%, gas bumi 22%, batubara 30% dan minyak bumi 25%.
Besarnya impor pada sektor minyak mentah dan produk BBM disebabkan juga karena defisit minyak bumi. Berdasarkan BP Statistical Review 2022, produksi minyak bumi Indonesia berada di angka 692 BOPD sedangkan konsumsi minyaknya sebesar 1471 MBOPD, ini berarti Indonesia mengalami defisit minyak sebesar 779 MBOPD (Million Barrel of Oil per Day). Jika mengambil rata-rata harga minyak bumi pada tahun itu sebesar 70 US$/barel dan kurs rupiah terhadap dolar sebesar Rp. 14.000 maka perharinya Indonesia harus mengeluarkan uang 763,42 miliar rupiah untuk memenuhi kebutuhan minyak buminya.
Banyaknya volume impor minyak dan besarnya nilai yang harus dikeluarkan memerlukan langkah tegas untuk mengurangi ketergantungan tersebut salah satunya dengan cara diversifikasi energi. Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2007 mendefinisikan diversifikasi energi sebagai penganekaragaman pemanfaatan sumber energi. Sedangkan menurut Perpres No. 5 Tahun 2006 menyatakan diversifikasi energi adalah penganekaragaman penyediaan dan pemanfaatan berbagai sumber energi dalam rangka optimasi penyediaan energi.
Langkah diversifikasi energi pada tulisan ini dibatasi dengan cakupan energi primer yang surplus yaitu gas bumi. Produksi gas bumi Indonesia pada tahun 2021 59,3 BCM (Billion Cubic Metres) yang menempatkan Indonesia sebagai produksi gas terbesar ke-14 dengan konsumsi di bawah produksi yaitu di angka 37,1 BCM (BP, 2022). Surplus dari gas bumi Indonesia sebesar 22,2 BCM. Semenjak tahun 2012 hingga 2021 ekspor gas bumi terus menurun, yang pada saat itu jumlah ekspor sebesar 3.673 MMSCFD kemudian menurun menjadi 2.390 MMSCFD (Million Standard Cubic Feet per Day). Hal tersebut sejalan dengan adanya program prioritas pemanfaatan gas untuk domestik yang semula 57,8% menjadi 64,2%.
Guna mendukung program prioritas pemanfaatan gas untuk domestik sebagai diversifikasi energi adalah kegiatan konversi dari BBM ke BBG. Manfaat dari konversi ini adalah mengurangi subsidi BBM, energi yang lebih bersih sehingga dapat mengurangi pencemaran udara, efisiensi mesin kendaraan meningkat sehingga mesin lebih awet dan bahan bakar yang aman untuk digunakan. Beberapa landasan hukum dari pelaksanaan kegiatan ini adalah UU No. 22 Tahun 2001, Perpres No.5 Tahun 2006, Perpres No. 5 Tahun 2010, Perpres No. 64 Tahun 2012, Inpres No. 1 Tahun 2010, Permen ESDM No. 19 Tahun 2010, Kepmen LH No. 15 Tahun 1996 dan Kepmen ESDM No. 2261 K/12/MEM/2013.
Manfaat dari pelaksanaan kegiatan konversi dari BBM ke BBG ini yang pertama adalah keamanan pasokan energi, dengan mengkonversi bahan bakar kendaraan dari BBM ke BBG dapat mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri karena cadangan gas masih cukup banyak bila dibandingkan dengan cadangan minyak bumi.
Kedua, mengurangi penggunaan BBM dan subsidi, dengan mengkonversi bahan bakar kendaraan dari BBM ke BBG, akan mengurangi pemakaian BBM yang berarti mengurangi impor minyak dan tentu saja subsidi yang dialokasikan pemerintah untuk BBM menjadi berkurang.
Ketiga, mengurangi pencemaran lingkungan, bahan bakar gas emisinya sangat kecil dibanding dengan bensin, penggunaan BBG dapat mengurangi emisi CO sebesar 95%, emisi CO2 sebesar 25%, emisi.
Keempat, peluang usaha, apabila program konversi dari BBM ke BBG berjalan dengan lancar maka industri dari hulu ke hilir termasuk industri converter kit di dalam negeri akan semakin berkembang. Hal tersebut secara otomatis akan berdampak positif bagi penyerapan tenaga kerja di dalam negeri.
Kelima, penghematan bahan bakar, bagi pengguna kendaraan berbahan bakar gas, NGV (Natural Gas Vehicle) akan menghemat pengeluaran pembelian bahan bakar karena harga BBG jauh lebih murah dibandingkan dengan harga BBM.
Keenam, meningkatkan efisiensi pembakaran Penggunaan BBG dapat meningkatkan efisiensi penggunaan energi yang cukup besar karena nilai kalor efektif BBG lebih tinggi dibandingkan bensin maupun solar dan mempunyai gas buang yang lebih bersih dan ramah lingkungan.
Oleh: Awaf Wirajaya, Ketua Dewan Energi Mahasiswa Aceh, Mahasiswa Pascasarjana Ketahanan Energi Universitas Pertahanan