Kontras.net | Ramadham Kariim, Ramadhan Mu’azd-zdam (Ramadham Mulia, Ramadhan Agung) dengan berbagai fadhaa-il (kelebihan) nya, Ialah, ramadhan bulan berpuasa (syahrus shiyaam), menghidupi malam-malamnya dengan rupa-rupa ibadah sunnah (syahrul qiyaam), bulan memperbanyak bacaaan quran (syahrut tilaawah), bulan kesetaraan, tanpa diskriminasi (syahrul ‘itq), bulan menuai kasih sayang Allah, menyambung tali kasih dan berbagi kasih sasama manusia (syahrur rahmah), bulan keampunan (syahrul maghfirah), bulan menebar sedekah dan berperilaku benar (syahrus shadaqaat), bulan menebar berbuat baik dan menebar kebaikan (syahrul ihsaan), bulan Allah buka pintu-pintu surga (syahrun tuftahu fiihi abwaabul jannaat), bulan Allah lipat gandakan pahala berbuat baik (syahrun tudhaa-‘af fiihil hasanaat), bulan Allah terima doa-doa hamba-Nya (syahrun tujaabu fiihid da-‘awaat, bulan Allah angkat harkat dan derajat hamba-hamba-Nya (syahrun turfa-‘u fiihid darajaat), bulan diampuni kesalahan-kesalahan ( syahrun tughfaru fiihis sayyi-aat) dan bulan Allah anugerah kepada hamba-hamba-Nya berbacam kemuliaan (syahrun yujawwidullahu ‘ibaadahu bi-anwaa-‘il karaamaat).
Namun ditengah kegembiraan dengan rupa-rupa kelebihan bulan ramadhan ini, di Aceh muncul berita di media massa (Jumat, 22 April 2022) yang dikutip dari isi sambutan Kadis Syariat Islam Aceh yang diwakili Kepala Bidang Penyuluhan Agama Islam dan Tenaga Da’i, Dr Fikri bin Sulaiman Ismail Lc, MA dalam kegiatan pelatihan kader dakwah Aceh tahun 2022 bekerja sama dengan Dewan Dakwah Aceh, ialah diantara isi sambutannya; “Sama-sama kita ketahui, bahwa sekarang Aceh dalam kondisi yang kritis, mulai dari penyebaran barkobanya, tindakan asusila dan perkosaan. Jika seperti ini terus menerus dan tanpa intervensi dan kesadaran kolektif untuk mengobati secara serentak, maka ditakutkan Aceh ini tidak ada lagi”.
Juga berita adanya pungutan liar rumah dhuafa. Terhadap kasus pungli ini tidak hanya lembaga anti rasywah di Aceh saja yang bicara dengan narasi bernada marah, tetapi juga Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, dimana sebagaimana diberitakan media massa (Senin, 25 April 2022), “Ketua MPU Aceh al-Mukkarram wal-Muhtaram Tgk Haji Faisal Ali mengaku geram ketika mendengar kasus pungutan liar atau pungli yang dilakukan oknum tertentu terhadap warga miskin penerima rumah dhuafa. Beliau mengatakan, perbuatan tersebut termasuk salah satu dosa besar karena menzhalimi orang miskin dan meminta Polda turun tangan”. Yang terakhir (Jumat, 29 April 2022) Gubernur Aceh ketika mengajak MPU bersinergi kokohkan benteng Islam kembali mengingatkan tiga ancaman, yaitu narkoba, gedget sera kekerasan fisik dan kekersan seksual terhadap perempuan dan anak.
Saya kira berdasarkan fakta selama ini, bahwa kritis narkoba, asusila dan perkosaan, serta merebaknya pungutan liar di Aceh, juga pernyataan Gubernur Aceh Nova Iriansyah itu memang benar adanya, bukan hoax. Terhadap fenomena batil ini sangat meresahkan dan memalukan bagi Aceh yang disebut dan sesuai konstitusi Negara sebagai Nanggroe Syariat Islam.
Betapa memang dalam NKRI legal formal, bahwa di Aceh berlaku dan diberlakukan syariat Islam kaffah sebagaimana diamanahkan dalam UU No 11 tahun 2006 tentang UUPA, dimana semua elemen masyarakat, institusi negara, pejabat publik dan seluruh masyarakat luas di Aceh dengan sungguh-sungguh, konsekuen dan konsisten melaksanakan, dan secara kolektif menjaga dan membela syariat Islam itu. Hal ini terbukti, seperti suara dan sikap Dinas Syariat Islam yang menunjukkan keprihatinan terhadap kritis narkoba, asusila dan perkosaan. Juga MPU yang geram dengan pungli rumah dhuafa, karena yang demikian itu jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam. Ini juga bermakna bertentangan dengan UUPA. Namun fakta lain sejauh ini saya melihat Malek Mahmud dengan jabatan mentereng, gelar dan panggilan selangit, fasilitas hidup super VIP, yang merasa dirinya sebagai “wali nanggroe” belum terdengar suara dan terlihat sikap (action) nya secara eksplisit, tegas dan transparan terhadap perilaku yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam, sekaligus melanggar UUPA, undang-undang negara, juga aturan dan ketentuan universal, padahal dia teramat sering menyebut-nyebut UUPA yang katanya harus dijaga, dibela, dipertahankan dan dilaksanakan semua isinya. Namun di satu sisi memang Malek Mahmud sangat reaktif, uring-uringan dan terkesan sangar apabila terjadi sesuatu yang menggangu dan mengusik kepentingan syahwat kekuasaan.
Yang paling aktual adalah sekaitan pelanggaran syariat Islam, undang-undang negara, bahkan ketentuan, norma dan aturan universal semisal dua fenomena itu, yakni apa yang disampaikan Kadis Syariat Islam Aceh dan pungli rumah dhuafa yang oleh Ketua MPU Aceh al-Mukarram wal-Muhtaram Tgk Haji Faisal Ali itu sebagai perbuatan dzalim dan merupakan salah satu dosa besar, demikian juga pernyataan Gubernur Aceh tersebut.
Sejatinya Malek Mahmud yang merasa dirinya “wali nanggroe” dan selama ini teramat sering menyebut-nyebut UUPA dan harus dilaksanakan dan katanya harus dibela itu, ketika ada perilaku yang jelas-jelas melanggar UUPA dan UU Negara serta ketentuan unversal yang demikian harus peka dan bereaksi. Tetapi agaknya dia nyaman dan tenang-tenang saja serta membisu dalam bilik semedi (kaluet) di meuligoenya. Bahkan sempena dalam bulan ramadhan, niscalah muncul dan menggema taushiyah darinya, agar rakyat Aceh menjadi semakin cinta Islam dan menjadikan syariat Islam sebagai way of life dalam berbagai aspek kehidupan dan profesinya, sekaligus wujud aktualisasi UUPA yang diantara isinya adalah pelaksanaan syariat Islam secara kaffah di Aceh, sebagaimana terdapat dalam BAB XVII, pasal 125, 126 dan 127 UUPA. Wabil khusus lagi taushiyah Malek Mahmud disampaikan dalam suasana kegembiraan dan sukacita mengamalkan dan menghayati berbagai kelebihan bulan ramadhan sebagaimana saya diskripsikan di awal tulisan/pernyataan saya ini.
Ramadhan tahun ini sudah mau berakhir, namun saya dan saya kira juga rakyat Aceh tetap amat rindu mendengar dan/atau Malek Mahmud berdasarkan konstitusi negara, nash-nash quran dan hadis dengan fasih dapat menyampaikan taushiyahnya, sekaligus sebagai wujud kepekaan, kepedulian dan responnya terhadap isu-isu aktual di Aceh, dan/atau isu apapun dalam perspektif pelaksanaan UUPA sebagai upaya mewujudkan Aceh Darussalam, yakni Nanggroe Aceh yang seluruh rakyatnya yang tinggal dan hidup di berbagai zona di Aceh, apapun suka dan agamanya merasa aman, damai, sejahtera, laa zhulma walaa makruuh (tidak kezhaliman dan kebencian). Baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Insya Allah.
Ghazali Abbas Adan
Mantan Anggota Parlemen RI.